Translate

Rabu, 30 Mei 2012

BILA HATI BERCAHAYA


BILA HATI BERCAHAYA

Adakah diantara kita yang merasa mencapai sukses hidup karena telah berhasil meraih segalanya : harta, gelar, pangkat, jabatan, dan kedudukan yang telah menggenggam seluruh isi dunia ini? Marilah kita kaji ulang, seberapa besar sebenarnya nilai dari apa-apa yang telah kita raih selama ini.

Di sebuah harian pernah diberitakan tentang penemuan baru berupa teropong yang diberi nama telescope Hubble. Dengan teropong ini berhasil ditemukan sebanyak lima milyar gugusan galaksi. Padahal yang telah kita ketahui selama ini adalah suatu gugusan bernama galaksi bimasakti, yang di dalamnya terdapat planet-planet yang membuat takjub siapa pun yang mencoba bersungguh-sungguh mempelajarinya. Matahari saja merupakan salah satu planet yang sangat kecil, yang berada dalam gugusan galaksi di dalam tata surya kita. Nah, apalagi planet bumi ini sendiri yang besarnya hanya satu noktah. Sungguh tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan lima milyar gugusan galaksi tersebut. Sungguh alangkah dahsyatnya.

Sayangnya, seringkali orang yang merasa telah berhasil meraih segala apapun yang dirindukannya di bumi ini – dan dengan demikian merasa telah sukses – suka tergelincir hanya mempergauli dunianya saja. Akibatnya, keberadaannya membuat ia bangga dan pongah, tetapi ketiadaannya serta merta membuat lahir batinnya sengsara dan tersiksa. Manakala berhasil mencapai apa yang diinginkannya, ia merasa semua itu hasil usaha dan kerja kerasnya semata, sedangkan ketika gagal mendapatkannya, ia pun serta merta merasa diri sial. Bahkan tidak jarang kesialannya itu ditimpakan atau dicarikan kambing hitamnya pada orang lain.

Orang semacam ini tentu telah lupa bahwa apapun yang diinginkannya dan diusahakan oleh manusia sangat tergantung pada izin Allah Azza wa Jalla. Mati-matian ia berjuang mengejar apa-apa yang dinginkannya, pasti tidak akan dapat dicapai tanpa izin-Nya. Laa haula walaa quwwata illaabillaah! Begitulah kalau orang hanya bergaul, dengan dunia yang ternyata tidak ada apa-apanya ini.

Padahal, seharusnya kita bergaul hanya dengan Allah Azza wa Jalla, Zat yang Maha Menguasai jagat raya, sehingga hati kita tidak akan pernah galau oleh dunia yang kecil mungil ini. Laa khaufun alaihim walaa hum yahjanuun! Samasekali tidak ada kecemasan dalam menghadapi urusan apapun di dunia ini. Semua ini tidak lain karena hatinya selalu sibuk dengan Dia, Zat Pemilik Alam Semesta yang begitu hebat dan dahsyat.

Sikap inilah sesungguhnya yang harus senantiasa kita latih dalam mempergauli kehidupan di dunia ini. Tubuh lekat dengan dunia, tetapi jangan biarkan hati turut lekat dengannya. Ada dan tiadanya segala perkara dunia ini di sisi kita jangan sekali-kali membuat hati goyah karena toh sama pahalanya di sisi Allah. Sekali hati ini lekat dengan dunia, maka adanya akan membuat bangga, sedangkan tiadanya akan membuat kita terluka. Ini berarti kita akan sengsara karenanya, karena ada dan tiada itu akan terus menerus terjadi.

Betapa tidak! Tabiat dunia itu senantisa dipergilirkan. Datang, tertahan, diambil. Mudah, susah. Sehat, sakit. Dipuji, dicaci. Dihormati, direndahkan. Semuanya terjadi silih berganti. Nah, kalau hati kita hanya akrab dengan kejadian-kejadian seperti itu tanpa krab dengan Zat pemilik kejadiannya, maka letihlah hidup kita.

Lain halnya kalau hati kita selalu bersama Allah. Perubahan apa saja dalam episode kehidupan dunia tidak akan ada satu pun yang merugikan kita. Artinya, memang kita harus terus menerus meningkatkan mutu pengenalan kita kepada Allah Azza wa Jalla.

Di antara yang penting yang kita perhatikan sekiranya ingin dicintai Allah adalah bahwa kita harus zuhud terhadap dunia ini. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Barangsiapa yang zuhud terhadap dunia, niscaya Allah mencintainya, dan barangsiapa yang zuhud terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya manusia mencintainya."

Zuhud terhadap dunia bukan berarti tidak mempunyai hal-hal yang bersifat duniawi, melainkan kita lebih yakin dengan apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan kita. Bagi orang-orang yang zuhud terhadap dunia, sebanyak apapun yang dimiliki sama sekali tidak akan membuat hati merasa tentram karena ketentraman itu hanyalah apa-apa yang ada di sisi Allah.

Rasulullah SAW bersabda, "Melakukan zuhud dalam kehidupan di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula memboroskan kekayaan. Zuhud terhadap kehidupan dunia itu ialah tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti daripada apa yang ada pada Allah." (HR. Ahmad, Mauqufan)

Andaikata kita merasa lebih tentram dengan sejumlah tabungan di bank, maka berarti kita belum zuhud. Seberapa besar pun uang tabungan kita, seharusnya kita lebih merasa tentram dengan jaminan Allah. Ini dikarenakan apapun yang kita miliki belum tentu menjadi rizki kita kalau tidak ada izin Allah.

Sekiranya kita memiliki orang tua atau sahabat yang memiliki kedudukan tertentu, hendaknya kita tidak sampai merasa tentram dengan jaminan mereka atau siapa pun. Karena, semua itu tidak akan datang kepada kita, kecuali dengan izin Allah.

Orang yang zuhud terhadap dunia melihat apapun yang dimilikinya tidak menjadi jaminan. Ia lebih suka dengan jaminan Allah karena walaupun tidak tampak dan tidak tertulis, tetapi Dia Mahatahu akan segala kebutuhan kita.jangan ukur kemuliaan seseorang dengan adanya dunia di genggamannya. Sebaliknya jangan pula meremehkan seseorang karena ia tidak memiliki apa-apa. Kalau kita tidak menghormati seseorang karena ia tidak memiliki apa-apa. Kalau kita menghormati seseorang karena kedudukan dan kekayaannya, kalau meremehkan seseorang karena ia papa dan jelata, maka ini berarti kita sudah mulai cinta dunia. Akibatnya akan susah hati ini bercahaya disisi Allah.

Mengapa demikian? Karena, hati kita akan dihinggapi sifat sombong dan takabur dengan selalu mudah membeda-bedakan teman atau seseorang yang datang kepada kita. Padahal siapa tahu Allah mendatangkan seseorang yang sederhana itu sebagai isyarat bahwa Dia akan menurunkan pertolongan-Nya kepada kita.

Hendaknya dari sekarang mulai diubah sistem kalkulasi kita atas keuntungan-keuntungan. Ketika hendak membeli suatu barang dan kita tahu harga barang tersebut di supermarket lebih murah ketimbang membelinya pada seorang ibu tua yang berjualan dengan bakul sederhananya, sehingga kita mersa perlu untuk menawarnya dengan harga serendah mungkin, maka mulailah merasa beruntung jikalau kita menguntungkan ibu tua berimbang kita mendapatkan untung darinya. Artinya, pilihan membeli tentu akan lebih baik jatuh padanya dan dengan harga yang ditawarkannya daripada membelinya ke supermarket. Walhasil, keuntungan bagi kita justru ketika kita bisa memberikan sesuatu kepada orang lain.

Lain halnya dengan keuntungan diuniawi. Keuntungan semacam ini baru terasa ketika mendapatkan sesuatu dari orang lain. Sedangkan arti keuntungan bagi kita adalah ketika bisa memberi lebih daripada yang diberikan oleh orang lain. Jelas, akan sangat lain nilai kepuasan batinnya juga.

Bagi orang-orang yang cinta dunia, tampak sekali bahwa keuntungan bagi dirinya adalah ketika ia dihormati, disegani, dipuji, dan dimuliakan. Akan tetapi, bagi orang-orang yang sangat merindukan kedudukan di sisi Allah, justru kelezatan menikmati keuntungan itu ketika berhasil dengan ikhlas menghargai, memuliakan, dan menolong orang lain. Cukup ini saja! Perkara berterima kasih atau tidak, itu samasekali bukan urusan kita. Dapatnya kita menghargai, memuliakan, dan menolong orang lain pun sudah merupakan keberuntungan yang sangat luar biasa.

Sungguh sangat lain bagi ahli dunia, yang segalanya serba kalkulasi, balas membalas, serta ada imbalan atau tidak ada imbalan. Karenanya, tidak usah heran kalau para ahli dunia itu akan banyak letih karena hari-harinya selalu penuh dengan tuntutan dan penghargaan, pujian, dan lain sebagainya, dari orang lain. Terkadang untuk mendapatkan semua itu ia merekayasa perkataan, penampilan, dan banyak hal demi untuk meraih penghargaan.

Bagi ahli zuhud tidaklah demikian. Yang penting kita buat tatanan kehidupan ini seproporsional mungkin, dengan menghargai, memuliakan, dan membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun. Inilah keuntungan-keuntungan bagi ahli-ahli zuhud. Lebih merasa aman dan menyukai apa-apa yang terbaik di sisi Allah daripada apa yang didapatkan dari selain Dia.

Walhasil, siapapun yang merindukan hatinya bercahaya karena senantiasa dicahayai oleh nuur dari sisi Allah, hendaknya ia berjuang sekuat-kuatnya untuk mengubah diri, mengubah sikap hidup, menjadi orang yang tidak cinta dunia, sehingga jadilah ia ahli zuhud.

"Adakalanya nuur Illahi itu turun kepadamu," tulis Syaikh Ibnu Atho’illah dalam kitabnya, Al Hikam, "tetapi ternyata hatimu penuh dengan keduniaan, sehingga kembalilah nuur itu ke tempatnya semula. Oleh sebab itu, kosongkanlah hatimu dari segala sesuatu selain Allah, niscaya Allah akan memenuhinya dengan ma’rifat dan rahasia-rahasia."

Subhanallaah, sungguh akan merasakan hakikat kelezatan hidup di dunia ini, yang sangat luar biasa, siapapun yang hatinya telah dipenuhi dengan cahaya dari sisi Allah Azza wa Jalla. "Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing (seorang hamba) kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki ..." (QS. An Nuur [24] : 35).

Kehendak Allah adalah mutlak, Allah tidak melihat siapa dan statusnya bagaimana,

Oleh : KH. A. Gymnastiar

KETENTUAN NIAT DALAM BEPERGIAN


KETENTUAN NIAT KEMBALI
Yang dimaksud kembali disini adalah niat pulang ke desa tempat tinggalnya baik ada keperluan atau tidak, atau niat kembali ke tempat lain selain desanya sedang si Musafir tidak mempunyai keperluan ke tempat lain tersebut.
Niat kembali atau pulang memiliki pengaruh yang sangat berarti bagi ketentuan batas diperbolehkan atau tidaknya melakukan jama’ dan qoshor.
Adapun niat tersebut harus memenuhi 3 syarat, yaitu :
1.       Ketika niat, musafir dalam keadaan diam (tidak sedang berjalan). Apabila timbulnya niat ketika si-Musafir sedang berjalan, seperti sedang naik bus atau kendaraan yang lain, maka niat ini tidak berpengaruh terhadap kelangsungan safar.
2.       Perjalanannya belum sampai pada tempat yang dituju
3.       Musafir tidak berstatus pengikut, independent atau bepergian menurut kehendaknya dan mempunyai tujuan sendiri (maksud pengikut adalahorang yang dalam perjalanannya ikut pada orang yang harus ditaati secara syara’, seperti istri yang ikut pada suami, prajurit yang ikut panglima dll.) jadi apabila musafir ikut pad orang yang tidak wajib ditaati secara syara’, seperti perjalanan musafir yang mengikuti temannya, maka musafir tersebut tetap berstatus mustaqil
Contoh pengalihan niat
Pak Ahmad adalah orang yang berdomisili di Desa Pakis Malang. Suatu hari ketika ia ingin pergi ke kota Surabaya. Ternyata setelah sampai di terminal Kota Lawang, entah karena ada suatu hal atau hanya sekedar iseng, dia memutuskan untuk kembali ke Malang.
Pada contoh ini, setelah pak Ahmad memutuskan untuk kembali ke Malang secara otomatis perjalanannya dianggap berkahir, sebab Pak Ahmad dalam contoh ini telah memenuhi 3 (tiga) syarat di atas….tetapi apabila niatan pulang tadi ternyata digagalkan dan si musafir meneruskan kembali perjalanannya ke Surabaya, maka hitungan safar dimulai dari terminal Lawang, bukan dari Malang. Maksudnya apabila jarak antara terminal kota Lawang dengan tujuan pak Ahmad (Surabaya) tidak ada mencapai masafat al qoshr (jarak yang diperbolehkan musafir mengqoshor sholat), dia tidak diperbolehkan melakukan jamak-qoshor.

JAMAK TA'KHIR


JAMAK TA’KHIR
Jamak ta’khir ialah mengerjakan sholat diwaktu yang kedua. Misalnya menjamak sholat maghrib dengan isya’, maka kedua sholat tersebut dilaksanakan pada waktunya sholat isya’ begitu pula jika yang dijamak adalah shola duhur dengan asar maka pelaksanaannya pad waktunya sholat asar. Adapun syarat diperbolekannya melakukan sholat jamak ta’khir adalah sama dengan sholat jamak taqdim.
Syarat-syarat jamak ta’khir ada 2 (dua) yaitu :
  1. Niat jamak diwaktu sholat yang pertama
Waktut niat jamak ta’khir adalah mulai masuknya waktu sholat yang pertama sampai tersisa kira-kira memuat satu rokaat. Misalnya yang akan dijamak adalah sholat duhur dengan asar, maka niat jamak ta’khir bisa dilakukan mulai masuk waktu duhur sampai tersisa waktu satu rokaat. Jadi apabila seseorang hendak menjamak ta’khir sholatnya, namun ia tidak niat jamak sampai waktu sholatnya yang pertama habis, maka orang tersebut berdosa dan sholat yang pertama menjadi qodlo’ bukan jama’
  1. Tetapnya perjalanan sampai selesainya sholat yang kedua.
Artinya apabila seorang musafir yang belum mengerjakan sholat jamak, atau tengah mengerjakannya ternyata mukim,baik dengan niat mukim di tengah-tengah sholat atau ragu : apakah dia niat mukim atau tidak, maka sholat yang pertama tidak jadi dan harus di qodlo’, hanya saja si musafir tidak berdosa.
Sedangkan tertib dan muwalat (cepat-cepat) tidak menjadi persyaratan dalam jamak ta’khir. Dengan kata lain, musafir bebas memilih, sholat mana yang akan didahulukan, dan apakah ia mau melaksanakannya dengan muwalat atau tidak

SYARAT SHOLAT QOSHOR


Syarat-syarat Qoshor
Qoshor sholat dapat dilakukan apabila telah memenuhi beberapa syarat, yaitu :
1.       Perjalanan jauh
Adalah perjalanan yang mencapai jarak 2 marhalah atau 16 farshah (48 mil) atau lebih jika diukur dengan ukuran modern, maka keterangan Ulama’ berbeda sebagaimana berikut :
Ø  Menurut mayoritas Ulama’, 2 marhalah atau 16 farsah adalah 119,99988 Km, jika dibulatkan adalah 120 Km
Ø  Menurut Kyai Ma’sum ialah 94,5 Km
Ø  Menurut Imam al Jurdani dalam Fath al ‘alam adalah 89,40 Km
Ø  Menurut Majd al Hamawi adalah 82,5 Km
Ø  Menurut Syaikh al Kurdi dalam Tanwir al Qulub adalah 80,640 Km
Ø  Menurut Syaikh Daib al Buqha adalah 81 Km
Ø  Menurut Syaikh Zain bin Smith dalam taqriirotus sadiidah adalah + 82 km
Perjalanan jauh ini tidak meninjau waktu, dengan maksud apabila jarak du amarkhlah bisa dilaui dalam waktu yang singkat (dengan memakai pesawat terbang misalnya), musafir tetap diperbolehkan mengqoshor sholatnya. Demikian pula, penghitungan jauh tersebut diukur keberangkatannya saja, tidak dihitung dengan pulangnya.
  1. Tahu bahwa qoshor diperbolehkan
  2. Perjalanan mubah
Perjalanan yang mubah mencakup perjalanan yang wajib, sunnah dan makruh. Meliputi
a.       (al ‘aashi bis safar) Apabila perjalanan si musafir adalah untuk maksiat, maka ia tidak boleh melaksanakan qoshor sholat. Tetapi apabila tujuan musafir bercampur, misalnya ia ingin nonton konser dan silaturrohmi, maka ditengah perjalanan ia harus bertaubat dan boleh melakukan qoshor sholat apabila sisa perjalanannya tidak kurang dari aturan batas diperbolehkkannya qoshor
b.      (al ‘aashi bis safar fis safar) adalah orang yang bepergian dengan niat yang baik tetapi di tengah perjalanan niatnya berubah menjadi maksiyat. Ia harus segera bertaubat dan boleh melakukan qoshor meskipun sisa perjalanannya tidak mencapai 16 farsah



SHOLAT JAMAK


JAMAK TAQDIM
Jamak ialah mengumpulkan dua sholat dan dikumpulkan dalam satu waktu. Sholat yang bisa dijamak ialah dhuhur dengan asar, maghrib dengan isya’ sedangkan sholat subuh tidak bisa dijamak secara mutlak. Jamak ada dua yakni jamak taqdim dan jamak ta’khir.
Jamak taqdim ialah mengerjakan sholat diwaktu yang pertama, misalnya menjamak sholat duhur dengan ‘asar maka kedua sholat itu dikerjakan diwaktu sholat duhur. Begitu pula jika yang dijamak taqdim adalah sholat maghrib dan isya’ maka mengerjakannya diwaktu sholat maghrib.
Jamak ta’khir ialah mengerjakan sholat diwaktu yang kedua. Misalnya menjamak sholat duhur dengan asar maka kedua sholat itu dikerjakan diwaktu asar, menjamak ta’khir sholat maghrib dengan isya’ maka mengerjakannya diwaktu sholat isya’.
Syarat-syarat jamak taqdim
Syarat jamak taqdim ada 4 yaitu :
  1. Tertib
Apabila musafir akan melakukan sholat jamak dengan jamak taqdim, maka dia harus mendahulukan sholat yang punya waktu terlebih dahulu. Misalnya seorang musafir akan menjamak sholat maghri dengan isya’ maka dia harus mengerjakan sholat maghrib terlebih dahulu. Apabila ia mengerjakan sholat isya’ terlebih dahulu maka sholat isya’nya tidak sah. Dan apabila ia masih mau mengerjakan sholat jamak maka dia harus mengulangi sholat isya’nya setelah sholat mangrib. Bahkan apabila musafir ingat setelah selesai mengerjakan sholat jamak ia ingat bahwa sholatnya yang pertaam tidak sah maka secara otomatis sholat yang kedua tidak sah. Namun menurut pendapat yang sahih, sholat tersebut dianggap sebagai sholat sunnah
  1. Niat jamak pada waktu sholat yang pertama
Bagi seorang musafir yang akan melaksanakan sholat jamak taqdim, maka siat jamk diharuskan pada waktu pelaksanaan sholat yang pertama dan yang lebih afdhol, niat jamak dilakukan bersamaan dengan takbirotul ikhrom.
  1. Muwalah (bersegera)
Maksudnya adalah, antara sholat yang pertama dengan sholat yang kedua tidak ada selang waktu yang dianggap lama oleh ‘uruf.
  1. Masih berstatus musafir sampai sholat yang kedua
Orang yang menjamak sholatnya harus masih berstatus musafir sampai selesainya sholat. Apabila sebelum melaksanakan sholat yang kedua ada niatan mukim, maka musholli (orang yang melakukan sholat) tidak oleh melakukan sholat jamak, sebab udzurnya danggap habis. Dan harus mengaakhirkan sholat yang kedua pada waktunya.