FIQIH SAFAR
(Ketentuan syari’at yang harus dilakukan dalam perjalanan)
A.
Pendahuluan
Bepergian merupakan aktifitas yang sering dilakukan
oleh seseorang baik umat muslim maupun non muslim. Bagi umat Islam yang sadar
akan keberadaannya sebagai hamba Allah yang bertaqwa, ia mempunyai
kewajiban-kawajiban yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun yaitu
sholat. Namun demikian Allah telah memberikan keringanan (ruh-shoh) bagi
umat Islam yang sedang berada dalam keadaan bepergian.
Bepergian atau safar yang memperoleh rukhshoh
adalah bepergian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Adanya keringanan
ini merupakan kemudahan yang telah diberikan Allah bagi hamba-hambaNya,
sebagaimana kemudahan atau keringanan yang dapat ditemukan ketika seorang hamba
dalam kondisi darurat, contoh : dibolehkannya menjama’ dan mengqoshor
sholat bagi orang yang bepergian, dibolehkkannya makan daging yang diharamkan
ketika berada dalam hutan sedang ia dalam keadaan sangat lapar dan tidak ada makanan
yang lain selain daging babi hutan, diperbolehkannya tidak puasa ramadhan bagi
orang yang sakit, dan masih banyak rukhshoh yang lain dan tentunya
rukhshoh itu dapat diambil jika telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
B. Batas-batar safar
Batas-batas safar (bepergian) yang dimaksudkan di
sini adalah batas seseorang dalam bepergian dan memperoleh rukhshoh
(keringanan) dalam melaksanakan sholat fardhu dengan jama’ atau qoshor.
Adanya batas ini diperlukan sebagaimana yang dicontohkan oleh Rosululloh
Muhammad saw., yangmana beliau melaksanakan sholat fardhu dengan dijama’ atau
diqoshor apabila telah mencapai batas tertentu.
1. Batas awal safar
Batas awal safar (bepergian) adalah suatu batas dimana jika seseorang
telah melalui batas ini maka seseorang tersebut dinamakan musafir dan
perbolehkan melakukan sholat jama’ atau qoshor apabila telah
memenuhi syarat-syarat tertentu .
Batas awal ini berbeda disesuaikan dengan kondisi/keadaan pemukiman
yang ditempati oleh orang yang akan melakukan perjalanan. Keadaan pemukiman
tersebut antara lain :
Ø
Orang yang tinggal di
daerah yang padat bangunan (baik pedesaan atau perkotaan), apabila tempat
tersebut memiliki batas baik berbentuk tugu atau yang lain maka batas safarnya
adalah dengan melalui batas tempat tersebut.
Namun apabila tempat tersebut tidak memiliki batas sama sekali, maka
batas awal safarnya adalah dengan melalui akhir bangunan yang dinisbatkan pada
tempat tersebut
Ø
Bagi orang yang bertempat
tinggal di suatu daerah yang tidak terdapt rumah atu bangunan, seperti di hutan
belantara atu padang pasir, maka awal safarnya ialah dengan meninggalkan tempat
dimana dia diam menurut ‘urf nya (kebiasaan yang berlaku).
2. Batas akhir safar (perjalanan)
Batas akhir safar adalah suatu batas dimana seseorang yang bepergian
sudah tidak dikatakan musafir lagi, sehingga tidak diperbolehkan melaksanakan jama’
dan qoshor. Sebab masa perjalanannya dianggap telah habis.
“musafir telah sampai batas tempat tinggalnya walaupun hanya sekedar
lewat atau tidak memasukinya”
Contoh : Pak As’ad adalah orang yang berdomisili di desa Pakis
Malang Jawa Timur. Pada suatu hari ia ingin bepergian ke Surabaya dengan maksud
(niat) bermukim di Ampel dengan tanpa menentukan waktu atau hari.
Dalam contoh
ini, setelah Pak As’ad sampai di batas desa Ampel, maka perjalanannya dianggap
berakhir dan tidak boleh melakukan jama’ dan qoshor. Karena
dengan memasuki batas desa Ampel, berarti dia sudah tidak dikatakan musafir
lagi.
Lain halnya
apabila Pak As’ad tidak ada maksud untuk bermukim di tempat yang dituju. Jika
demikian, maka apabila ia sampai di tempat yang dituju, dia boleh melakukan jama’
dan qoshor selama 4 hari 4 malam utuh (hari berangkat dan pulang
tidak dihitung), selebihnya tidak boleh kecuali sedang menunggu hajat yang
sewaktu-waktu bisa terselesaikan namun tidak diketahui kapan selesainya, dan
apabila hajatnya selesai ia akan kembali. Hal sedemikian memperbolehkan musafir
untuk melakukan jama’ dan qoshor selama 18 hari.
Lain halnya
apabila seorang yang melakukan perjalanan dengan maksud mukim di suatu tempat
melebihi 4 hari 4 malam atau lebih.
Contoh : seorang santri dari Malang ia mondok (belajar di
pesantren Gresik). Setelah ia pulang ia akan kembali ke Pesantren, sehingga
sudah dipastikan ia akan mukim di Pesantren, maka ia tidak diperbolehkan jama’
dan qoshor. Kecuali apabila ia tidak menetap/mukim di Desa
tersebut kurang dari 4 hari, maka ia diperbolohkan melakukan jama’ dan qoshor
Untuk syarat dan ketentuan dibolehkannya jama’ dan qoshor
insyaallah akan saya sambung pada postingan berikutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar